Tidak terasa hampir 3 tahun sudah
kami hidup dalam suasana tarbiyah kampus. Dari mulai seorang pribadi yang bukan
apa-apa dan siapa-siapa, namun tarbiyah mengubah segalanya,mengangkat derajat
kami. Mengingat ketika kami baru masuk ke dunia baru yang disebut kampus,
suasana hangat Tarbiyah menyambut pribadi-pribadi yang sedang mencari jati
dirinya dan merubah haluan hidupnya dari jahiliyah menuju perbaikan.
Dan akhirnya tarbiyah mulai
merasuk kedalam ruh dan menggelayuti disetiap aktifitas. Kala itu, euphoria yang
terjadi membuat diri amat semangat mencari ilmu-ilmu kehidupan melalui seminar,
kajian, diskusi, halaqoh, daurah dan berbagai madrasah ilmu lainnya. Mencari sebuah
arti dari landasan sebuah pergerakan, memahami arti dari sebuah kebersamaan(jamaah).
Hingga patner-patner dakwah mulai bermunculan, mereka yang dinamakan teman
perjuangan. Ya, susah sedih kita rasakan bersama.
Waktu terus berlalu, aktivitas
demi aktivitas dakwah terus dilakoni. Hingga sampai dititik terberat, namun
titik terberat itu mengantarkan kami pada sebuah pertolongan Allah. Pertolongan
itu dengan Allah mengirimkan para sosok baru penyokong dakwah ini. Kami merasa
senang dan sedikit haru, karna bertambah orang-orang yang mau mengorbankan
kepentingannya untuk dakwah ini. Merekapun semangat, membuat kami tidak mau
kalah dari mereka.
Kami berusaha mengenal satu sama
lain, memahami dan mengenal lebih jauh lagi. Tapi, kami merasa ada jurang
pemisah yang entah itu berasal dari mana. Seperti ada sekat antara lama dan
baru. Padahal kami mengenal dakwah ini hanya berbeda kurang lebih 3 bulan saja,
tapi sekat itu terasa amat tebal. Banyak yang merasa tidak pantas, sedangkan
mereka tidak mengetahui yang sebenarnya bahwa kamipun masih merasa tidak pantas
dan tidak lebih baik. Namun kami lebih memilih melanjutkan dakwah daripada
mengurusi hal semacam ini.
Setelah kurang lebih satu tahun,
kami mulai memaksa diri lebih dewasa dalam berpikir. Dan menyambut
penerus-penerus dakwah selanjutnya. Waktu berjalan terasa lama, Harta Tahta
Wanita/Pria terus datang silih berganti, beban ekonomi, tanggungan keluarga,
akademik semua menjadi pelengkap perjalanan yang panjang ini. Yang pada
akhirnya, memunculkan banyak kekecewaan, sakit hati, dan pelarian terhadap
dakwah ini. Sedang beberapa lainnya ada yang sibuk mengurusi amanahnya dengan
totalitas bahkan tanpa memperdulikan masalah pribadinya.
Ada satu pertanyaan dalam kepala ini.
Aktivis mana yang tidak pernah merasakan kekecewaan dan sakit hati dalam
perjalan dakwah ini? Apakah ada, siapa orangnya? Namun saya pun tahu
jawabannya, bahwa setiap orang pasti pernah mengalami perasaan itu dalam dakwah
ini, namun kematangan berpikir menjadi jawaban atas persoalan itu. Karna jamaah
ini adalah jamaah manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Proses bhayanat,
thabayun, adalah system yang dibuat untuk mengatur keseimbangan jamaah ini. Namun
2 proses itu tidak lebih mulia dari sifat ‘goffar’,
itu semua pilihan, kematanganlah yang menentukan.
Pernah kami berdiskusi membahas
sebuah masalah klasik dalam sebuah jamaah, manakah yang lebih didahulukan,
ukhuwah atau totalitas dakwah? Panjang lebar kami berargumen membahas ini. Namun
saya mencoba mempraktekan langsung, mana jawaban yang benar. Ketika saya
mengutamakan totalitas dakwah, ada kepuasan tersendiri ketika kita bisa berkorban
lebih dari yang lainnya, namun rasanya kering karna kontekstual kita berdakwah
adalah jamaah dan jika salah langkah dapat mengantarkan pada kesombongan dan
ria. Saat saya mengutamakan ukhuwah, seketika kita mendapatkan sebuah ruh
kebersamaan dan kekeluargaan yang hangat, namun mayoritas dakwah terhambat
karena ukhuwah itu sendiri. Sehingga saya tahu jawaban dari diskusi tersebut,
antara ukhuwah dan totalitas harus berjalan beriringan dan proporsional untuk
menciptakan ke-thawazun-an dakwah.
Sekarang sudah memasuki tahun
ke-3 menyelami suasana tarbiyah ini. Tidak ada sosok yang hebat, tidak ada
sosok yang sempurna disini. Tapi seakan semua saling menuntut satu sama lain untuk
bisa sempurna. Kekecewaan dan sakit hati tetap menghiasi perjuangan kami yang
tinggal menghitung bulan. Hingga satu persatu dari mereka menghilang, satu
persatu dari mereka mengundurkan diri, sedangkan ada orang-orang yang justru
sedang memikul amanah berat di waktu-waktu terakhir.
JENUH! Kata pertama yang selalu
syaitan bisikan kepada kami. LARI! Kata kedua setelah berhasil dengan kata
pertama. PERGI! Kata terakhir dan awalan untuk bisikan-bisikan ang lebih mendalam
lagi.
Namun semua adalah pilihan, hak
dan wewenang itu hanya pribadi yang menentukan atas izin Allah. Satu hal yang
saya petik dari pengalaman selama kurang lebih 3 tahun ini, berdakwah itu mudah
tapi berdakwah secara jamaah tidak semudah yang dipikirkan. Sedangkan dakwah
kampus jauh jika dibandingkan dengan dakwah masyarakat, medan kita selanjutnya.
Saya ingin mengajak semua
merasakan menjadi seorang pemimpin, bagaimana jika kita menjadi seorang pemimpin namun satu persatu dari rekan kerja
kita mengundurkan diri. Hanya seorang pemimpin yang dapat merasakannya.
Pesan terakhir, Mari kita maksimalkan
waktu-waktu terakhir kita!
Jazakumullahu khairan khatsiran.